بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
ANDA MENDERITA AMBIEN/WASIR? DISINI ADA JAWABANNYA. ANDA KESULITAN MENCARI KOSA-KATA BAHASA BANJAR PAHULUAN? DI SINI TERSEDIA KAMUS MINI BAHASA BANJAR. ATAU ANDA INGIN TAHU SEPUTAR HULU SUNGAI TENGAH? SILAKAN JELAJAH LAMAN INI (By : SYAFRUDDIN)
DUNIA ADALAH TEMPAT MENCARI BEKAL UNTUK KEHIDUPAN SETELAH MATI

Sabtu, 17 April 2010

PETANI-KU, KAPAN KAU KAYA

Petaniku, kapan kau kaya? Pertanyaan ini cukup menyakitkan, karena sejak zaman dahulu kita (bangsa Indonesia) dikenal sebagai masyarakat yang agraris. Masyarakat yang mengandalkan hidup dan kehidupannya dengan bercocok tanam dan hasil-hasil pertanian lainnya. Namun hingga saat ini petani-ku belum juga kaya. Pemerintah-pun sudah lama menyadari betapa pentingnya peran seorang petani sebagai satu-satunya penyuplai bahan makanan dasar (beras) bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Karena sampai saat ini tidak ada satu teknologi-pun yang mampu menghasilkan beras sintetis murni dari pabrik. Kalaupun ada, bahan dasarnya dipastikan masih menggunakan produk petani.
Petani melalui perannya sebagai produsen bahan makanan (padi/beras) sangatlah strategis. Tak heran jika pemerintah orde baru saat itu sangat berkepentingan melindungi petani. Bahkan sampai saat inipun profesi petani tetap dilindungi. Perlindungan yang diberikan (melalui peran yang dimainkan oleh sebuah lembaga logistik nasional) adalah dengan menjaga kestabilan harga. Artinya, apabila harga beras naik melebihi batas ambang maksimal, lembaga logistik melakukan operasi pasar. Sebaliknya apabila harga beras berada pada level terendah, lembaga tersebut melakukan pembelian beras petani dengan harga yang wajar menurut versi mereka.
Agar profesi petani tidak ‘punah’, pemerintah juga memberi perlindungan melalui berbagai stimulus seperti memberikan fasilitas kredit (lebih dikenal sebagai Kredit Usaha Tani/KUT), subsidi pupuk, bantuan sarana produksi, pembangunan saluran irigasi tehnis, hingga memberikan pendampingan melalui PPL (Petugas Pertanian Lapangan). Tetapi stimulus ini ternyata hanya mampu merangsang petani untuk tetap bertani. Stimulus itu juga hanya mampu membantu kesulitan likuiditas sesaat, karena sesudahnya petani ‘terkena’ kewajiban untuk mengembalikan pinjaman walau dengan bunga yang cukup rendah. Dalam keadaan seperti ini mungkin saja hasil panen tidak sempat dinikmati oleh petani karena keburu terpakai untuk membayar biaya hidup selama menunggu masa panen, termasuk untuk membayar cicilan pinjaman. Sementara untuk keperluan makan sehari-hari terpaksa diganti atau mencari sumber lain yang salah satu alternatifnya adalah menggunakan ‘raskin’. Jika demikian maka berlakulah pepatah tempo dulu ‘besar pasak daripada tiang’ atau pepatah lain ‘ayam mati ditengah gondokan padi’
Bagi konsumen, kestabilan harga padi/beras tentu sangat diharapkan; apalagi hampir 80% penduduk Indonesia sumber makanan pokoknya adalah beras. Namun yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah, apakah pengendalian harga yang dilakukan oleh sebuah lembaga logistik itu sangat menguntungkan bagi petani? Lalu siapa yang paling diuntungkan dengan kebijakan harga seperti itu? Dan sebaliknya apakah ada yang dirugikan?
Jika dilihat dalam konteks untuk menjaga ketersediaan beras sepanjang masa, tentu hal itu sangatlah baik. Apalagi disaat musik paceklik, petani sendiripun akan kesulitan mencari beras. Kenyataan dilapangan membuktikan; jangankan dimusim paceklik, dimusim panenpun para petani kita sering mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan beras sehingga harus mengkonsumsi beras yang sejatinya untuk orang miskin (baca: raskin). Kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah petani kita miskin semua, sehingga terpaksa harus ikut mengkonsumsi raskin? Atau karena produksi hasil pertanian mereka mengalami kegagalan? Tentu tidak semua petani miskin, tentu tidak setiap kali petani mengalami gagal panen. Apalagi lembaga-lembaga yang berkaitan dengan produksi pertanian selalu mengklaim ‘kita surplus beras’ dan persediaan cukup hingga musim panen berikutnya.
Kebijakan saat ini memang lebih banyak memihak kepada petani. Tetapi keberpihakannya lebih banyak ke hulu atau lebih banyak kepada proses dan pra produksi. Kebijakan hilirnya (pasca produksi) justeru sangat menyakitkan petani.
Kebanyakan stimulus yang diberikan hanya untuk merangsang petani tetap bertani, agar pemuda desa mau mewarisi profesi orang tuanya sebagai petani, dan yang lebih penting bertujuan agar ketersediaan pangan tetap terjamin.
Nah, ketika petani sudah mampu berproduksi 2 atau 3 kali setahun; ketika intensifikasi produksi berhasil dilaksanakan melalui penggunaan pupuk bersubsidi, dan penggunaan bibit unggul berlabel; ketika itu kebijakan sudah tidak lagi berpihak kepada petani. Di saat produksi padi melimpah, harga dibiarkan anjlok mengikuti tren menurun. Kalaupun lembaga yang bertanggung jawab menjaga kestabilan harga padi melakukan aksi pembelian; harganya dipastikan hanya sedikit di atas harga pasar tanpa memperhitungkan biaya produksi yang dikeluarkan petani. Sebaliknya disaat harga padi melambung tinggi, lembaga logistik dipastikan akan segera melakukan ‘operasi pasar’ agar beras kembali ke harga normal. Apakah kebijakan ini melindungi petani yang katanya dilakoni oleh sekitar 85% penduduk Indonesia ataukah justeru melindungi keperluan sekitar 15% penduduk Indonesia lainnya (bukan petani). Jika kebijakan ini tetap dijalankan, sampai kapanpun nasib petani-ku tidak akan pernah berubah dan tidak akan pernah kaya.
Kebijakan dengan judul menjaga kestabilan harga beras sudah saatnya ditinjau kembali. Karena sebenarnya yang sangat diuntungkan dengan kebijakan ini adalah lembaga logistik yang nota bene mencari keuntungan.
Jika ingin melindungi petani, sebaiknya lembaga logistik nasional membiarkan harga padi/beras bergerak naik hingga batas atas yang tidak ditentukan agar petani bisa merasakan dampak kenaikan produk padinya. Tuh, yang keberatan atas kenaikan harga beras paling-paling segelintir orang kaya. Padahal kenaikan harga dampaknya sangat luas bagi peningkatan kesejahteraan petani. Paling tidak para petani dapat mengimbangi kenaikan harga pupuk, pestisida, dan keperluan hidup lainnya. Sebaliknya, jika harga anjlok disaat musim panen, maka disinilah peran penting lembaga logistik nasional untuk melakukan aksi beli dengan harga yang sebanding dengan biaya produksi. Dalam hal ini pembelian harus memperhitungkan komponen-komponen produksi yang dikeluarkan oleh petani, seperti biaya pengolahan lahan, biaya pemupukan, biaya pembelian pestisida, tenaga, termasuk biaya hidup dari mulai menanam hingga panen. Tingginya harga padi akan sangat menguntungkan bagi 85% penduduk Indonesia yang berprofesi sebagai petani. Sebaliknya, mahalnya harga beras tidak akan menyebabkan kemiskinan bagi 15% penduduk Indonesia lainnya gara-gara mahalnya harga beras. Dengan demikian, diyakini akan tercipta keseimbangan antara kebutuhan hidup petani dan keperluan untuk berproduksi.
Jika kita mengikuti tren harga beras unus, yang sekarang sudah menginjak Rp. 6.000 per kilogram menurut hemat saya masih tergolong murah jika dibandingkan dengan biaya produksi yang mesti dikeluarkan oleh petani. Apalagi unus adalah jenis padi lokal yang sejak tanam pertama hingga panen diperlukan waktu paling tidak enam bulan. Kegiatan selama menunggu enam bulan itulah yang terkadang tidak masuk dalam komponen perhitungan biaya produksi. Padahal selama tenggat waktu tersebut selain pemupukan dan penyemprotan, petani juga harus melakukan penyiangan/pembersihan gulma dan hama baik dengan tenaga sendiri atau mengambil tenaga upahan. Tenaga sendiri inilah yang terkadang terabaikan. Oleh karena itu, walau harga beras unus melambung sampai Rp. 10.000 per kilogram, tetap saja tidak akan sebanding dengan biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani.
Petani kibarkan bendera ‘SOS’
Selama ini nasib petani memang selalu berada dipihak yang lemah. Di tingkat kebijakan politik misalnya, boleh dikata hampir tidak ada perwakilan di DPR yang mampu menyuarakan aspirasi petani. Buktinya, disaat harga pupuk melambung, disaat harga pestisida dinaikkan, tidak ada satupun perwakilan yang mampu membendungnya walau petani telah menjerit sekuat-kuatnya. Pihak pabrik pasti tetap bersikeras bahwa kenaikan tidak bisa ditunda-tunda lagi mengingat ada kenaikan biaya komponen produksi.
Demikian pula pada saat petani mulai tanam, maka pada saat itu pula pupuk mulai menghilang. Ditengarai menghilangnya pupuk ini akibat olah oknum yang berpura-pura menjadi petani dan melakukan aksi pembelian pupuk secara membabi buta.
Nah, kalau sudah seperti ini kepada siapa lagi petani harus mengadu. Kepada siapa lagi petani harus meminta pertolongan. Sebagai orang yang lemah, teriakan mereka mungkin tak bergema, jatuhnya tetesan keringat mereka mungkin tak terdengar jelas, hitam lebam tubuhnya mungkin hanya dianggap sebuah suratan takdir, sehingga apa yang dialami petani dianggap sebuah kebetulan yang tak perlu ditanggapi secara serius. Satu-satunya yang bisa dilakukan petani kini hanya mengibarkan bendera ‘SOS’. Menunggu bantuan dan pertolongan baik secara fisik maupun medik.
»»  Baca Selengkapnya...